Tingkat kesejahteraan dan pendapatan perusahaan pers dari tahun ke tahun nyaris tidak mengalami penurunan.
Malah sebaliknya, belanja iklan nasional terus meningkat setiap tahunnya dan berpengaruh pada meningkatnya pendapatan media dari perolehan belanja iklan nasional tersebut.
Lantas apa peran Dewan Pers?
Sama sekali tidak ada dalam upaya meningkatkan kehidupan pers nasional. Dewan Pers hanya sibuk mengurusi kerja sama media terverifikasi dengan pemerintah daerah.
Dewan Pers sibuk mengarahkan media untuk menjual idealisme dan independensi media kepada pemerintah daerah lewat kerja sama publikasi dan sosialaisasi media.
Apakah perlu pemikiran penulis ini kembali terbukti di kemudian hari namun diklaim oleh Dewan Pers.
Sama halnya ketika penulis sejak tahun 2018 sampai tahun 2021 menulis kritikan terhadap pelaksanaan UKW abal-abal dan ilegal yang dilakukan Dewan Pers.
Tadinya Dewan Pers bersih kukuh UKW yang dilakukannya adalah profesional dan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Namun di pertengahan April 2021, Dewan Pers dikejutkan dengan fakta hukum bahwa Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP mengegaskan bahwa Dewan Pers boleh melaksanakan sertifikasi kompetensi tapi tidak boleh secara langsung, karena harus melalui Lembaga Sertifikasi Profesi yang berlisensi BNSP.
Sontak publik pers terbuka mata lebar-lebar bahwa praktek UKW Dewan Pers selama ini ternyata abal-abal dan melaggar hukum.
Tiba-tiba Dewan Pers mendatangi BNSP dan ‘mengemis’ peran dengan menggiring opini bahwa Rekomendasi Dewan Pers diwajibkan bagi LSP dalam mendapatkan lisensi di BNSP.
Kenegarawanan Muh Nuh diuji dalam peristiwa hukum ini.
Penulis yang merupakan Ketua Umum SPRI yang selama ini getol menulis kritikan tentang UKW Dewan Pers yang cacat hukum, sering dipotret abal-abal namun justeru berhasil membuktikan kritikannya benar dengan mendirikan LSP dan menyusun standar kompetesi wartawan sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Standar Kompetesi Wartawan yang digunakan Dewan Pers selama ini adalah abal-abal dan tidak memenuhi ketentuan KKNI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
SPRI menjawab semua itu dengan menyusun Standar Kompetensi Kerja Khusus Wartawan berbasis KKNI yang teregistrasi di Dirjen Binalatas Kemanker RI.
Fakta ini apakah akan berulang ketika penulis dan kelompok yang tergabung dalam Dewan Pers Indonesia kembali membuat gebrakan memperjuangkan pendapatan media atau perusahaan pers melalui program pembentukan peraturan daerah di seluruh Indonesia tentang belanja iklan nasional menjadi belanja iklan daerah.
Penulis berharap program ini tidak dilawan oleh Dewan Pers tapi didukung untuk bersama-sama, selayaknya praktek UKW lewat jalur BNSP, mendorong pemerintah membuat perda tentang belaja iklan daerah sebagai potensi income bagi perusahaan media.
Dengan cara ini jika media telah berhasil meraih pendapatan besar dari belanja iklan daerah maka tidak perlu lagi ada kerjasama media dengan pemerintah daerah dengan sumber pembiayaan dari APBD karena sosialisasi kegiatan pemerintah itu sudah merupakan tanggung-jawab dan peran media sebagai alat sosial kontrol.
Penulis berharap, ke depan nanti tidak ada lagi perbedaan atau dikotomi antara konstituen dan non konstituen.
Karena bagi penulis, tidaklah penting bagi Dewan Pers atau Dewan Pers Indonesia gontok-gontokan atau kubu-kubuan namun pada prakteknya semua akan menuju satu titik yaitu upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional ke arah yang lebih baik dan sejahtera.
Penyatuan sertifikasi kompetensi wartawan melalui BNSP seharusnya menjadi starting poin bagi insan pers tanah air untuk menyatu dalam satu visi membawa kehidupan pers nasional yang sejahtera dan merdeka.
Seandainya, Dewan Pers melihat bahwa wartawan, pemilik dan pengelola perusahaan pers, pengurus organisasi pers di luar konstituen Dewan Pers adalah sesama anak bangsa yang berhak mendapat perlakuan yang sama dan berhak mendapatkan perlindungan hokum dan perlu mendapat pembinaan dan tidak dilihat sebagai musuh atau sampah masyarakat, tapi sebagai insan pers Indonesia, maka sikap kenegarawanan Muhamad Nuh selaku Ketua Dewan Pers perlu diuji dalam hal ini.
Penulis yang dipilih sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia pun tidak akan merasa malu dan ragu mengakui keberdaaan Dewan Pers jika pengurus Dewan Pers mau memperbaiki cara pandang dan kembali ke cita-cita para pejuang pers di era reformasi lalu.
Apalah arti Dewan Pers Indonesia jika pada prakteknya masih banyak wartawan dan media yang termarjinalkan karena berlawanan terus dengan kebijakan Dewan Pers.
Ego sektoral perlu dilepas, asalkan pers bisa sejahtera.
Jika pers Indonesia bersatu, maka kemerdekaan pers yang sesungguhnya adalah kesejahteraan pers itu sendiri.
Sebebas apapun kemerdekaan pers di Indonesia jika wartawan dan media tidak sejahtera maka itu sama saja pembohongan publik.
Titik perjuangan kita saat ini adalah melawan konglomerasi media.
Mari kita ajak Dewan Pers membuka mata dan bersatu melawan monopoli belanja iklan nasional.
Beranikah Dewan Pers memperjuangkan kesejahteraan pers dengan mendorong pemerintah membuat peraturan agar belanja iklan bisa terdistribusi ke daerah?
Kita tunggu saja.
Jangan sampai ketika Dewan Pers Indonesia bergerak dan berhasil, Dewan Pers malah sibuk mengambil alih peran tersebut meski terkadang nyaris terlambat. *****
Editor/Publish : Antonius Sitanggang












