Terduga Pelaku Mesum Warnai Hari Kebebasan Pers Sedunia

oleh -788 views
oleh
Ketua Dewan Pers Indonesia, Heintje G. Mandagie
banner 1000x200

Pada tahun 2017 lalu, Torazidu Lahia menulis tentang dugaan korupsi (mantan) Bupati Bengkalis Amril Mukminin dengan bukti fakta peristiwa pengusutan kasus korupsi itu sedang berjalan.

Namun Dewan Pers dengan lancangnya melayani aduan dari sang Bupati, kemudian mengeluarkan rekomendasi ‘pencabut nyawa’ dan menyatakan berita yang ditulis Torazidu Lahia bukan karya jurnalistik dan teradu tidak memiliki sertifikat Uji Kompetensi Wartawan  dan medianya belum terverifikasi Dewan Pers.

Sehingga kasus tersebut dinyatakan bisa ditempuh di luar Undang-Undang Pers atau dengan kata lain bisa dikriminalisasi.

Akibat rekomendasi Dewan Pers tersebut sang (mantan) Bupati kemudian benar-benar mengkriminalisasi  Torazidu dan akhirnya dipenjara dan divonis bersalah, kemudian menjalani hukuman selama 2 tahun.

Pada waktu yang bersamaan, (mantan) Bupati Bengkalis Amril Mukminin yang diberitakan Torazidu terlibat dugaan korupsi, justeru terbukti bersalah dan didakwa sebagai koruptor yang merugikan keuangan negara dan divonis 6 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah.

Saat menulis fakta tentang nasib yang dialami Torozidu Lahia ini, hati dan persaaan penulis begitu pedih dan miris membayangkan wartawan yang menjalankan perannya harus mendekam di balik jeruji besi dan dinginnya lantai penjara beralaskan tikar tipis berbalut penderitaan yang tak terkatakan.

Kebebasannya terenggut oleh karena tulisannya dipidana dan dikriminalisasi. Kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat tidak berlaku bagi Dewan Pers.

Tidak ada upaya meminta maaf kepada Torozidu Lahia pasca Bupati yang mengadu terbukti bersalah dan divonis 6 tahun penjara.

Dewan Pers tidak berani mengakui kesalahannya.

Kemerdekaan pers bukan lagi wujud kedaulatan rakyat tapi wujud tirani Dewan Pers.

Tidak ada perlindungan hukum terhadap wartawan sebagaimana dijamin dalam Pasal 8 Undang-Undang Pers.

Masih jelas teringat kematian wartawan Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru Muhammad Jusuf dalam tahanan karena dikriminalisasi akibat berita yang ditulisnya.

Nasib yang dialami Torozidu Lahia tak berbeda dengan apa yang dilami almarhum Muhammad Jusuf.

Keduanya menerima Rekomendasi “Pencabut Nyawa Kemerdekaan Pers” dari Dewan Pers.

Namun sayangnya Dewan Pers tidak merasa bersalah sedikitpun.

Beberapa contoh kasus yang diurai di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus serupa yang membelenggu kemerdekaan pers di berbagai daerah.

Telah habis kata-kata bagi penulis untuk merangkaikan kalimat menggambarkan betapa negeri ini sudah rusak sistem penegakan kemerdekaan persnya.

Bahkan kemerdekaan pers saat ini yang penulis rasakan lebih buruk dari era orde baru berkuasa karena ulah Dewan Pers yang dihuni orang-orang elit yang tidak mengerti tentang permasalahan pers.

Saat ini kondisi kehidupan pers nasional sudah begitu memprihatinkan. Wartawan dan media dibiarkan terlena dengan mengais rejeki dari belas kasihan nara sumber.

Wartawan dan media dibiarkan mengemis rejeki dan menjual idealisme kepada pemerintah daerah lewat program kebanggaan Dewan Pers yakni kerja sama media terverifikasi dengan pemda.

Media yang belum terverifikasi dicap media abal-abal dan wartawan yang belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan atau UKW (ilegal dan abal-abal) malah selama ini dipotret atau dicitrakan sebagai wartawan abal-abal.   Tapi semua wartawan hanya diam membisu, pasrah pada keadaan.

Ketika disentuh sedikit dengan fasilitas wadah penyaluran unek-unek lewat Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 rinuan wartawan pun bergerak dan meledak-ledak namun surut seketika bak ditelan bumi.

Wartawan dan media yang belum terjangkau Dewan Pers pun nyatanya tetap diam membisu karena takut dikriminalisasi dan dihambat akses ekonominya.

Sebagian besar pasrah dan terlena.

Bahkan kelompok organisasi pers konstituen Dewan Pers pun tak menyadari bahwa sesungguhnya mereka merupakan bagian dari korban pembiaran Dewan Pers terkait hak untuk mendapatkan kesejahteraan melalui perusahaan pers tempatnya bekerja.

Sudah menjadi rahasia umum wartawan media mainstream hampir 90 persen masih menerima imbalan jasa pemberitaan dari nara sumber untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Ketua Dewan Pers Indonesia, Heintje G. Mandagie

Jangan ada dusta di antara kita.

Karena penulis pernah menjadi bagian dari wartawan media mainstream yang justeru menyaksikan praktek menerima amplop lebih parah dilakukan wartawan media mainstream ketimbang wartawan media mingguan atau bulanan dan media lokal non mainstream.

Hampir sebagian besar wartawan pos liputan di gedung pemerintah provinsi, kota dan kabupaten masih menerima imbalan secara diam-diam karena jasa pemberitaan.

Gaji wartawan media mainstream berskala nasional pun masih jauh dari kata sejahtera.

Berdasarkan riset yang dilakukan DPP SPRI, wartawan media mainstream berskala nasional selayaknya digaji minimal 25 juta rupiah per bulan untuk level reporter dan gaji minimal 100 juta rupiah untuk wartawan level pemimpin redaksi agar terjamin independensinya.

Angka yang disebutkan tadi masih tergolong kecil dibanding raihan pendapatan belanja iklan tahunan yang diperoleh media-media mainstream berskala nasional yang mencapai belasan bahkan puluhan triliuan rupiah per tahun.

banner 1000x300banner 1000x300
Bagikan ke :