Ideologi transnasional yang dipersepsikan sebagai ancaman yang memiliki derajat paling tinggi sehingga patut diwaspadai adalah transmisi paham atau ideologi yang berbenturan dengan nasionalisme dan falsafah bangsa Indonesia Pancasila yang menjunjung kearifan lokal dan pluralisme.
Ideologi Transnasional cenderung mengkampanyekan keseragaman, satu warna, dan cara beragama yang kaku dan sempit, intoleran mengandung ajaran radikalisme bahkan hingga derajat paling ekstrim mewujud kepada ajakan melakukan aksi terorisme.
Ancaman nyata dari ideologi transnasional ini menimbulkan adanya demarkasi ditengah masyarakat yang kemudian menimbulkan perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa serta runtuhnya bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana kini ideologi tersebut eksis di media sosial dikarenakan beberapa hal, antara lain : Aksesibilitas dan Penyebaran Cepat.
Dalam hal ini, media sosial memungkinkan ideologi transnasional untuk dengan mudah menjangkau audiens yang luas dan menyebar dengan cepat.
Dengan hanya beberapa klik, konten ideologi transnasional dapat diunggah dan dibagikan oleh pengguna media sosial, sehingga memperluas jangkauan dan dampaknya.
Selain itu terdapat anonimitas dan kebebasan ekspresi: Media sosial memberikan anonimitas dan kebebasan ekspresi kepada penggunanya.
Hal ini memungkinkan individu atau kelompok yang memiliki ideologi transnasional untuk menyebarkan pandangan mereka tanpa takut diidentifikasi atau dihukum.
Mereka dapat menggunakan akun palsu atau menggunakan platform yang tidak terlalu diawasi untuk menyebarkan ideologi mereka.
Media Sosial juga mengandung algoritma dan filter Bubble: Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan minat dan preferensi pengguna.
Ini dapat menciptakan filter bubble di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan ideologi mereka sendiri.
Dalam konteks ini, ideologi transnasional dapat dengan mudah menyebar di antara kelompok-kelompok yang sudah memiliki pandangan serupa.
Ditambah lagi dengan kurangnya regulasi dan pengawasan dan media sosial tidak terkendali untuk tetap mentransmisikan konten konten negatif yang diunggah oleh pengguna.
Hal ini memungkinkan ideologi transnasional untuk berkembang tanpa hambatan atau tindakan yang signifikan dari pihak berwenang.
Penetrasi ideologi transnasional yang dapat memecah belah persatuan tersebut, mudah berkembang di kalangan masyarakat negara yang masih menghadapi persoalan dengan kualitas hasil sistem pendidikannya yang rendah dan pemahaman serta komitmen akan jiwa nasionalisme yang lemah.
Kurangnya kualitas dan kuantitas pendidikan berbanding lurus dengan rendahnya budaya membaca/literasi.
Rendahnya literasi masyarakat Indonesia dibuktikan indeks literasi Indonesia yang kondisinya cukup memprihatinkan, dimana posisi Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2020. khususnya pada segmen mayoritas tergolong kurang mampu, sangat rendah kemampuan dan minat membacanya.
Untuk membendung transmisi ideologi transnasional melalui media sosial yang dapat melemahkan ikatan persatuan dan kesatuan bangsa, dapat dilakukan pendekatan penguatan pendidikan karakter (character building).












