Eksploitasi Isu Negatif, Media Berpotensi Ciptakan ‘Copycat Crime’ di Indonesia

oleh -399 views
oleh
Heintje Mandagi Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia
Heintje Mandagi Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia. (Foto : SBO/Ist)
banner 1000x200

Selama beberapa dekade terakhir, masyarakat Indonesia terus-menerus disajikan pemberitaan media yang mengeksploitasi isu perpecahan, korupsi, kemiskinan, politik kotor, kriminal, dan beragam isu negatif lainnya.

Pemberitaan ini berkontribusi besar dalam menciptakan kondisi yang sangat buruk di negeri ini. Indonesia seolah hanya dipenuhi oleh koruptor, pelaku kriminal, politisi busuk, dan pejabat korup, sementara orang baik menjadi makhluk langka.

Baca Juga :

Membendung Transmisi Ideologi Transnasional Melalui Media Sosial Yang Melemahkan Persatuan Dan Kesatuan Bangsa Di Era Disrupsi

Di era Orde Baru, kebebasan pers adalah “barang” mahal karena media dikontrol ketat oleh pemerintah yang otoriter dan anti-kemerdekaan berpendapat.

Kritik terhadap pemerintah pun dianggap haram.

Anehnya, di tengah kondisi ini, Indonesia justru berhasil mencapai swasembada pangan, pembangunan berjalan mulus, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangat stabil.

Namun, ketika gaung kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers berkumandang, rezim Orde Baru akhirnya tumbang setelah 32 tahun berkuasa.

Pers Indonesia kini bebas dan merdeka dari ancaman pembredelan, sementara rakyat pun bebas berpendapat, bahkan cenderung kebablasan.

Eksploitasi Isu Negatif, Media Berpotensi Ciptakan ‘Copycat Crime’ di Indonesia
Eksploitasi Isu Negatif, Media Berpotensi Ciptakan ‘Copycat Crime’ di Indonesia. (Foto : SBO/Ist)
  • Eksploitasi Isu Negatif Demi Kepentingan Industri Pers

Sayangnya, isu perpecahan, korupsi, kemiskinan, politik kotor, kriminal, dan beragam isu negatif lainnya justru menjadi “barang berharga” bagi industri pers.

Eksploitasi isu negatif ini menjadi sajian utama media-media besar berskala nasional. Kasus-kasus kriminal seperti sodomi anak, mutilasi, begal, dan korupsi dieksploitasi secara berkesinambungan di seluruh media arus utama.

Demi menaikkan rating, menambah pundi-pundi pendapatan iklan, dan meraih jumlah pembaca, masyarakat terus disuguhkan berita-berita bombastis ketika kasus-kasus tersebut mencuat.

Isu-isu negatif ini menghiasi media arus utama seolah menjadi resep dokter : tiga kali sehari, berkelanjutan selama berhari-hari.

Contoh paling sederhana, saat kasus pembunuhan dan narkoba yang melibatkan petinggi Polri terjadi, media melakukan eksploitasi tanpa henti.

Seluruh media penyiaran nasional menyiarkan secara langsung proses penindakan, penyidikan, hingga persidangan.

Akibatnya, seolah-olah tidak ada berita lain yang lebih penting bagi publik. Hal ini membuat seluruh jajaran Kepolisian RI tanpa disadari dipotret sama buruknya dengan perbuatan jahat oknum jenderal tersebut.

Pers turut membangun citra buruk institusi Polri.

Padahal, ada puluhan ribu polisi baik di luar sana yang rela berkorban jiwa dan raga demi menjamin keamanan warga.

Seharusnya, pers menjalankan fungsi kontrol sosial tanpa menjadikan isu negatif lebih dominan dibandingkan isu prestasi aparat Polri dalam melayani dan melindungi masyarakat.

Contoh eksploitasi isu negatif terbaru, saat media membingkai pernyataan tokoh-tokoh oposisi bahwa kasus Tom Lembong dan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto, adalah bagian dari upaya kriminalisasi.

Publik disuguhi pemberitaan selama berbulan-bulan yang seolah-olah kedua tokoh ini terzalimi.

Opini publik pun terbentuk bahwa penegakan hukum terhadap mereka adalah bagian dari skenario balas dendam politik pasca-Pilpres 2024.

Namun, ketika pemerintah merespons opini ini dengan memberikan amnesti dan abolisi, justru muncul lagi pemberitaan yang kontradiksi.

Pers kembali mengeksploitasi isu negatif menggunakan pernyataan kritis dari tokoh-tokoh oposisi lainnya yang menyebut pemerintahan sekarang pro-koruptor dan membebaskan koruptor.

Lagi-lagi, masyarakat menjadi target untuk meraih keuntungan dari eksploitasi pemberitaan, yang menyudutkan penguasa demi rating dan pendapatan iklan. Kondisi ini makin membuat rakyat bingung.

Kasus terkini seperti pernyataan Bupati Pati soal kenaikan pajak serta isu kenaikan gaji dan tunjangan DPR juga terus dijadikan sumber pendapatan industri pers.

banner 1000x300banner 1000x300
Bagikan ke :